Ketika akan melahirkan Sidik, Ibunya
pernah mimpi bahwa ia akan melahirkan anak cacat. Namun anak cacat itu
akan membawa berkah dalam keluarga. “Alhamdulillah, tak
lama setelah saya lahir, kata almarhumah Ibu, Ayah saya langsung
mendapat pekerjaan tetap, sehingga bisa membiayai pendidikan seluruh
anak-anaknya hingga SMA.” kata Sidik di rumahnya yang sederhana di
bilangan Cempaka Putih.
Sidik memang lahir dengan kondisi yang
memprihatinkan, ia tak memiliki kedua kaki mulai dari pangkal paha.
Sehingga boleh dibilang tubuhnya hanya separuh. Sebelum menggunakan
kursi roda, ia mengayunkan dua tangan guna menyeret tubuhnya untuk
berjalan.
Meski tubuhnya tak sempurna, sejak kecil Sidik
tak pernah mau merepotkan orang. Ia selalu berusaha melakukan semua
aktivitasnya sendiri. Ia juga tak mau dipapah atau digendong, “Saya tak
mau dikasihani orang, saya ingin sukses bukan karena orang kasihan pada
saya, tetapi karena kerja keras saya.” katanya lugas.
Pada tahun 1992, Sidik menikah dengan Siti Rahmah
yang juga penyandang cacat. Dari perkawinan mereka lahirlah tiga anak
perempuan yang sehat dan normal. Belakangan anak kedua mereka meninggal
dunia karena kecelakaan.
Setelah bertahun-tahun bekerja di
Yayasan Swa Prasidya Purna tapi tak menghasilkan materi berarti, Sidik
memilih keluar dan mencari pekerjaan lain. Dengan bekal ijazah
diplomanya, ia diterima di sebuah perusahaan kontraktor sebagai staf
personalia. Tapi belum lama ia bekerja, krisis moneter 98 menghantam dan
perusahaannya terpaksa tutup. Maka dimulailah periode Sidik menjadi
pengangguran. Tapi ia tak mau lama-lama menganggur, Sidik mulai
mengikuti berbagai kursus keterampilan yang diadakan oleh Pemda DKI
untuk penyandang cacat. Salah satu kursus yang memikat perhatian Sidik
ialah kursus membuat kerupuk dari singkong.
“Dari belasan orang peserta kursus,
hanya saya satu-satunya orang yang masih bertahan membuat kerupuk sampai
sekarang. Yang lain, tumbang.” ujar Sidik.
Modalnya ketika itu sumbangan dari Pemda
DKI sebesar satu juta rupiah. Bersama istrinya Sidik kemudian memulai
usaha membuat kerupuk dari singkong. “Dulu belum ada merek, plastiknya
pembungkusnya masih polos.” katanya. Pada awal produksi ia memproduksi
sekitar 100 bungkus kerupuk berukuran 2 ons dari bahan baku singkong 10
kilogram. “Namanya juga pertama, kerupuk dagangan saya baru habis
setelah sebulan lebih.” katanya mengenang.
Prosesnya pembuatan kerupuk singkong
terbilang lebih rumit dibanding membuat keripik singkong. Jika membuat
keripik singkong cukup dengan memotong-motong batang singkong menjadi
irisan tipis lalu digoreng dan selesai. Membuat kerupuk singkong
prosesnya adalah singkong yang sudah dikupas kemudian diparut, parutan
itu lalu dibuat menjadi adonan dengan mencampur berbagai bumbu rasa dan
sedikit tepung. Setelah itu adonan dibentuk kembali menjadi seperti
batang singkong dan dijemur. Setelah adonan sedikit liat, adonan
kemudian diiris tipis-tipis. Irisan itu tidak langsung digoreng, tetapi
kembali dijemur sekitar dua hari agar kering. Setelah kering, irisan
kerupuk singkong baru digoreng.
Dari hanya mengolah 10 kilogram
singkong, kini Sidik mengolah sedikitnya 50 hingga 100 kilogram singkong
setiap bulannya. Ia juga sudah punya merek lengkap dengan cap di
pembungkus produknya. “Saya beri nama merek Cap Gurame, ini sama sekali
tak ada hubungannya sama ikan gurame, tetapi gurame adalah singkatan
dari Gurih, Renyah, Enak,” katanya tersenyum. “Kalau nanti ada biaya,
merek ini saya mau patenkan.” tambahnya.
Semua pekerjaan produksi dari mulai
membeli singkong hingga memasarkannya ia kerjakan sendiri dibantu
istrinya. Setiap hari ia keluar masuk kampung menawarkan kerupuk
daganganya ke warung-warung atau koperasi-koperasi di kantor
pemerintahan. “Saya menggunakan sistem konsinyasi atau titip jual, harga
dari saya empat ribu, terserah mereka menjualnya berapa, tapi bisanya
mereka jual lima ribu rupiah.” kata Sidik.
Dari usaha yang ditekuni sejak tahun 1999 ini, memang belum terlalu banyak menghasilkan materi. Sidik masih tinggal di gedung bekas tempatnya bekerja di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Rumahnya pun hanya terdiri dari tiga petak yang disekat papan tripleks termasuk di dalamnya ruang produksi kerupuk “Cap gurame” tersebut.
Dari usaha yang ditekuni sejak tahun 1999 ini, memang belum terlalu banyak menghasilkan materi. Sidik masih tinggal di gedung bekas tempatnya bekerja di bilangan Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Rumahnya pun hanya terdiri dari tiga petak yang disekat papan tripleks termasuk di dalamnya ruang produksi kerupuk “Cap gurame” tersebut.
Beruntung ada seorang pengusaha lokal
yang melihat kegigihan Sidik dan akhirnya menyumbangkan sebuah sepeda
motor untuk operasional usaha. “Namanya juga tidak punya kaki, saya
sempat bingung juga, bagaimana mengendarainya?” Tapi Sidik tak
kehilangan akal, ia mendesain motornya agar tuas perseneling dapat
dioperasikan dengan tangan. Dengan bantuan tukang las, jadilah sebuah
motor dengan tongkat besi tambahan yang ditempel di perseneling dan
injakan rem. Tak lupa ia juga menempelkan gerobak disampingnya untuk
mengangkut muatan. “Motor itu benar-benar membantu mobilitas dan
produktivitas usaha saya.” ujar Sidik.
Saat ini Sidik terus
mengembangkan pemasaran produknya, setiap hari ia masih berkeliling ke
koperasi-koperasi atau warung di seluruh pelosok Ibukota. Bahkan saat
Kabari mewancarainya, dua kali telepon selularnya berbunyi dari orang
yang meminta agar pasokan kerupuk “Cap Gurame” segera dikirim.
Namun dalam menjalankan usahanya ini,
Sidik juga mengalami berbagai kendala, seperti modal dan permintaan yang
terbatas. “Saya ingin sekali mendapat tambahan modal, atau minimal ada
orang yang mau menjadi mitra usaha untuk mengembangkan bisnis ini. Saya
punya mimpi suatu saat kerupuk saya ini dimakan sama orang Amerika.”
ujarnya.
Sidik juga mengaku
kesulitan memasok produknya ke pasar modern seperti supermarket atau
hipermaket. “Wah selain bentuknya mesti perseroan, mereka (para
pengelola pasar modern-red) juga meminta deposit uang mas, jelas kalah
sainganlah saya” kata Sidik lugas.
Kalau soal rasa, kerupuk “Cap Gurame” memang gurih dan renyah. Rasanya yang campuran pedas dan asin cocok dinikmati sebagai cemilan atau sebagai lauk.
Kini, dari hasil usahanya Sidik
mengantungi keuntungan berkisar 1 sampai 2 juta rupiah perbulan. Meski
jumlahnya kecil, apa yang diperbuat Sidik termasuk luar biasa. Dengan
keadaan yang terbatas, ia menjadi entrepreuner sejati. Meminjam rumusnya Pak Ciputra, pengusaha dan dosen mata kuliah enterpreunership,bahwa Indonesia membutuhkan sedikitnya 20 persen penduduknya menjadi entepreuner,
barulah menjadi negara makmur, maka Sidik telah memulainya
bertahun-tahun lalu. Jika benar apa kata Pak Ciputra, maka jelaslah
Indonesia membutuhkan orang-orang gigih seperti Sidik.
No comments:
Post a Comment